Sukriansyah S Latief: Adu Sabar di Keimigrasian Israel

By Admin

"Melakukan tugas jurnalistik di wilayah konflik bukan hanya memerlukan skill yang baik, tapi lebih dari itu sangat membutuhkan nyali yang kuat. Pengalaman wartawan senior Sukriansyah S Latief di Israel menggambarkan hal tersebut. Di bawah 'bayang-bayang' serangan roket dan 'sikap' curiga para petugas imigrasi Sukriansyah S Latief melaporkan suasana negeri tersebut. Berikut laporan lengkap Sukriansyah S latief dari Israel" (-red)

Oleh: Sukriansyah S Latief 

SERANGAN roket dari Jalur Gaza meluncur kembali ke dalam Israel. Ini serangan keempat sejak gencatan senjata berlaku. Akibat serangan roket itu, Israel menutup kembali perbatasan di Jalur Gaza. Itulah sebagian kutipan yang dimuat sebuah media, tiga hari sebelum saya bertolak ke Israel, Senin awal pekan ini.

Ada sedikit rasa gusar mengunjungi negara kelahiran para nabi, kecuali Rasul Muhammad SAW ini. Apalagi, beberapa waktu sebelumnya, bersama Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, saya sempat menjadi pembicara membedah buku Meutya Hafid, gadis cantik asal Sulsel yang disandera di Irak, ketika menjalankan tugasnya sebagai jurnalis Metro TV. Jangan-jangan, saya juga akan bernasib seperti Meutya, yang saat bedah buku itu saya berucap: Meutya beruntung disandera, karena ini melengkapi pengalaman dirinya sebagai jurnalis, dan tentu, karena itu pula buku ini bisa diterbitkan.

Namun kegusaran saya itu tak hinggap begitu lama. Toh, selain tugas jurnalistik, perjalanan ini lebih pada perjalanan religius, mengunjungi masjidil Aqsa di Israel, tempat suci ketiga umat Islam, setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Tapi begitulah, selain kondisi negara Israel yang belum aman dari serangan-serangan roket, juga karena tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel. Sehingga untuk masuk ke Israel, kita harus mengurus visa on arrival, dari Jordan.

Ini juga menjadi tidak mudah, karena paspor kita tidak boleh distempel di Imigrasi Israel, kalau kita masih mau melanjutkan perjalanan ke Kota Suci Makkah. Menempuh perjalanan sekitar 9,5 jam dengan pesawat Royal Jordan dari Thailand ke Jordan, cukuplah membuat badan ini menjadi penat, ditambah lagi kondisi pesawat yang tidak begitu bersih, dan toilet yang beraroma pesing. Tapi kepenatan itu buyar seketika saat memasuki pinggiran kota Amman, Jordania. Di sepanjang perjalanan menuju perbatasan Jordan-Israel, tampak pepohonan Zaitun yang berjejer teratur. Buah Zaitun dan minyak Zaitun ini memang merupakan trade mark hasil pertanian utama Jordan yang diekspor ke manca negara.

Selain itu, juga berjejer pohon pisang yang tingginya hanya sekitar 1 meter. Pisang dengan rasa sangat enak ini diekspor ke beberapa negara Arab. Meski daerah ini terlihat cukup tandus, namun kemampuan petaninya mengolah dan membudidayakan pertanian, membuat daerah ini bisa mengekspor hasil-hasil pertanian, di samping fosfat dan garam dari laut mati. Pagi hari di pinggiran kota Amman ini tidaklah begitu ramai. Hanya ada beberapa mobil penduduk yang melintasi jalan-jalan yang lebar. Sebagian lagi adalah mobil yang mengangkut hasil pertanian, seperti zaitun, semangka, tomat, dan pisang. Sebenarnya, perjalanan menuju perbatasan Allenby Bridge hanya sekitar 60 km, tapi ditempuh sekitar 2 jam, karena singgah breakfast di Madabba Inn Hotel dan menyimpan sejumlah barang di Abu Ala Shop. Tiba di keimigrasian Israel, melewati beberapa kali pemeriksaan tentara Jordan dan Israel, barulah cerita ini dimulai.

Foto: Sukriansyah S Latief  

Sama dengan pemeriksaan di semua bandara dunia dan pemeriksaan perbatasan negara, penggunaan X-Ray menjadi hal yang biasa. Yang tidak biasa di sini karena beberapa petugasnya adalah perempuan-perempuan muda dan cantik yang memegang pistol maupun senapan. Meski mencoba memasang wajah tegas, atau sebutlah garang, namun raut-raut kecantikan khas Israelnya tak bisa disembunyikan.

Hal yang juga menarik, karena suara mereka yang lantang, seperti orang yang berteriak-teriak. Saya pikir, ini karena daerah mereka yang di penuhi gunung dan berbukit-bukit, serta sering dilanda peperangan. Suara bom, roket, atau senapan, membuat mereka terbiasa dan harus berbicara cukup keras. Setelah selesai melewati X-Ray, paspor saya bersama delapan jamaah umrah Diva Sakinah ditahan seorang pemuda bercambang. Menurut Vhir Zein, tour leader kami, ini hal yang biasa. Semua badan saya diperiksa, isi pakaian, dompet, hape, dan semacamnya dikeluarkan, termasuk jaket hitam Indosat yang saya kenakan. Dengan peralatan yang canggih, hp, dompet, dll, digosok-gosok, seperti hendak memastikan tidak adanya bubuk mesiu atau (mungkin) narkoba.

Tidak ada percakapan, karena mereka juga enggan menggunakan bahasa Inggris, mereka lebih senang memakai bahasa Hebreo (Ibrani). Mereka tampak bolak-balik ruang kantor, dan bercakap sesamanya. Cuek bebek. Ini kontras dengan jamaah perempuan yang diperiksa, karena khawatir dipulangkan.

Setelah cukup lama diperiksa, akhirnya kami semua diperbolehkan pindah ke pemeriksaan berikutnya. Kali ini, untuk pemeriksaan visa on arrival. Di sini muncul masalah baru, karena menurut petugas inigrasi, kami yang 33 orang ini belum memiliki visa. Vhir sempat memperlihatkan fotocopy visa kami, tapi petugas menolak dan meminta yang original. ‘’Padahal sejak pagi agen saya sudah menyerahkan kepada mereka,’’ kata Vhir kepada kami.

Beberapa kali Vhir sempat bersitegang untuk meyakinkan bahwa visa tersebut telah diserahkan sejak pagi kepada petugas keamanan imigrasi, tapi mereka tetap tidak percaya. Vhir kembali meyakinkan, bahwa ini hal yang biasa. Beberapa kali ke Israel membawa jamaah umrah, cuma saat pemerintahan Indonesia dipimpin pemuka agama, mereka mudah masuk Israel, tapi setelah itu selalu dipersulit. ‘’Biasalah, kami kadang bersabar dua sampai tiga jam dikerjai seperti ini,’’ katanya. ‘’Jamaahku yang dulu bilang, ini semua langsung terlupakan saat kita tiba di masjid Aqsa,’’ tambah Wati, pimpinan Diva Sakinah. Semua jamaah pun tenang menunggu, termasuk Prof Halide dan M. Natsir (mantan bupati Pangkep), keduanya bersama istri. Dua-tiga jam menunggu tanpa kepastian, ternyata membuat jamaah mulai gelisah, termasuk Vhir.

Ia terus berusaha menghubungi agennya di Jakarta yang orang Palestina. Karena tak tembus-tembus, akhirnya Telkomsel saya yang dipakai menghubungi temannya. Bagi saya, juga Sahel Abdullah, soal menunggu ini sama sekali bukan masalah, saya pernah menunggu lebih lama dari ini, sama seperti teman saya yang diperiksa di Imigrasi Amerika. Tapi yang menjadi masalah karena saya sudah kelaparan, sementara tak satu pun makanan yang dijual. Padahal, di jam-jam seperti ini, sekitar pukul 13.00, biasanya saya sudah antre di Pallubasa Serigala, bersama Openg atau Enal, atau kalau tak sempat keluar, biasanya saya sudah duduk di kantin basement Graha Pena. Terbayang nikmatnya kuah Pallubasa dengan dagingnya empuk.

Foto/Sukriansyah S Latief   

‘’Malupu ka,’’ kata Sahel. Saya bisa merasakan bagaimana laparnya Madjid dan Wahab, dua anak Felix yang ikut umrah kali ini. Ternyata telepon pertama Vhir belum membuahkan hasil, sehingga kembali meminjam Telkomsel saya. Dan, ups, tak lama kemudian ada pemberitahuan kami sudah bisa antre karena visa kami sudah datang. ‘’Itu kan, kita dikerjain,’’ jelas Vhir.

Kegembiraan ini ternyata hanya sesaat, karena ternyata saat antre itulah, 9 di antara kami, termasuk saya mesti ditahan kembali dan disuruh mengisi formulir pendaftaran. ‘’Biasa, yang muda-muda sering ditahan,’’ kata Vhir. Wah, ternyata saya masih dilihat muda, sesaat rasa lapar saya hilang. Tapi setelah itu penantian tak jelas kembali menggelayut. Formulir yang sudah diisi tak bisa langsung diserahkan, karena harus menunggu panggilan dari petugas yang lain.

Sahel pun semakin gelisah karena ‘kampung tengahnya’ sudah tak bisa diajak kompromi. Ini semakin memiriskan, karena rombongan dari Korea, Malaysia, Uruguay, apalagi dari Amerika, begitu mudah melewati imigrasi Israel. Tulisan dan gambar yang berada di dinding yang berarti: ‘Israel Terbuka untuk Semua’, tampaknya cuma sekadar slogan. ‘’Iya memang terbuka, tapi dari jamaah umrah Indonesia, harus, capede,’ kata seorang jamaah perempuan.

Begitulah, menunggu panggilan ini kembali membuat saya keringat dingin karena lapar. Bantuan milkshake dari jamaah yang sudah lolos ternyata tak menghilangkan rasa lapar. Lima jam sudah kami menunggu, tak ada kabar dari petugas sampai di mana pengurusannya. Vhir pun sudah pasrah menunggu panggilan.

Saat itulah muncul seorang petugas perempuan, yang menurut saya sangat cantik. Meski tak fasih berbahasa Inggris, tap dia mengerti kalau saya membutuhkan hot water. Apa boleh buat, senjata terakhir saya: Pop Mie, terpaksa keluar meski hanya satu. Tak lama kemudian, sebutlah Susi, kembali membawa segelas air panas. Alhamdulillah, cukuplah untuk mengganjal perut yang keroncongan. Kepada jamaah, saya bilang Susi adalah teman saya sewaktu di SD Athirah.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Makanya, pemeriksaan ini menjadi lama karena saya ternyata akan dipertemukan dengan Susi. Jamaah lain tertawa, paling tidak untuk memaafkan saya karena mesti makan sendirian di pojok ruang tunggu. Setengah jam kemudian, penantian itu pun berakhir. Apa yang dikatakan Vhir pun benar. Formulir yang diberikan untuk diisi tidak diminta kembali, meski saya mencoba memperlihatkannya. Bahkan dengan sangat cepat paspor kami dikembalikan. Rupanya, di sini kami dan mereka sedang bertaruh, siapa yang lebih sabar, ternyata kami pemenangnya.

Bila tak sabar, tentu kami angkat kaki dan tak masuk ke Israel, tak shalat di Masjidil Aqsa. Dan benarlah apa yang dikatakan Wati, tak ada rasa capek, apalagi sakit hati. Yang ada adalah kegembiraan setelah tiba di Masjidil Aqsa. Shalat Magrib berjamaah, menambah rasa suka dan syukur ke khadirat Allah SWT. Labbaik Allahumma Labbaik.***

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior